Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), Keraton Yogyakarta menekankan penggunaan motif batik parang sebagai bagian dari batik larangan yang harus dipatuhi dengan ketat. Penetapan ini tertuang dalam dokumen resmi “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927 yang mengatur mengenai “Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta”. Kebijakan ini menandai pentingnya motif parang dalam budaya dan hierarki Keraton Yogyakarta.
Asal Usul Larangan Motif Parang
Para ahli seperti Rouffaer dan Joynboll berpendapat bahwa motif parang terinspirasi dari bentuk pedang yang biasa dikenakan para ksatria dan penguasa saat berperang. Mereka meyakini bahwa motif ini mencerminkan kekuatan dan keberanian, di mana ksatria yang mengenakan motif parang akan memiliki kekuatan berlipat dalam pertempuran.
Namun, ada versi lain mengenai asal usul motif parang. Menurut cerita, Panembahan Senapati menciptakan motif ini saat mengamati gerak ombak di Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai. Ia menggambarkan pola garis lengkung motif parang sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam. Pola ini melambangkan kedudukan raja yang berkuasa, serta mewakili kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak. Komposisi miring pada motif ini dianggap sebagai simbol otoritas dan keagungan yang dimiliki oleh seorang pemimpin.
Aturan dan Larangan Penggunaan Motif Parang di Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta menerapkan aturan ketat dan larangan untuk penggunaan motif batik parang. Aturan ini dibagi dalam dua kategori utama: penggunaan *nyamping* atau *bebet* (kain panjang untuk bawah) dan *kampuh* atau *dodot* (kain panjang untuk atas).
Aturan untuk Penggunaan Nyamping/Bebet:
1. Parang Rusak Barong: Keraton hanya memperbolehkan raja dan putra mahkota mengenakan motif ini dengan ukuran lebih dari 10 cm hingga tidak terbatas.
2. Parang Barong (Ukuran 10-12 cm): Putra mahkota, permaisuri, Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kajeng Gusti Pangeran Adipati dan istri utamanya, putra sulung sultan dan istri utamanya, serta putra-putri sultan dari permaisuri dan patih diizinkan mengenakan motif ini.
3. Parang Gendreh (Ukuran 8 cm): Istri sultan (ampeyan dalem), istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, dan para pangeran serta istri utamanya diizinkan mengenakan motif ini.
4. Parang Klithik (Ukuran 4 cm ke bawah): Putra ampeyan Dalem, garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit/buyut, canggah, dan wareng diperbolehkan mengenakan motif ini.
Aturan untuk Penggunaan Kampuh/Dodot:
1. Motif Parang Barong: Sultan, permaisuri dan istri utama, putra mahkota, putri sulung sultan, Kanjeng Panembahan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, putra sulung sultan, dan istri utamanya dapat mengenakan motif ini.
2. Kampuh Gendreh: Putra-putri sultan dari permaisuri dan garwa ampeyan, istri (garwa ampeyan), putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentono, istri utama para pangeran, dan patih diperbolehkan mengenakan motif ini.
3. Bebet Prajuritan: Keraton memperbolehkan penggunaan kain batik ini untuk kelengkapan busana keprajuritan sesuai ketentuan pemakaian kampuh.
4. Kampuh Parang Rusak Klithik: Istri dan garwa ampeyan putra mahkota diizinkan mengenakan motif ini.
Batik Parang di Hamzah Batik
Sebagai toko batik terbesar dan terlengkap di Jogja, Hamzah Batik menawarkan beragam pilihan batik, seperti batik motif parang. Selain itu, Anda juga dapat menemukan batik, kerajinan, cinderamata, dan camilan dengan beragam varian di sini. Toko ini juga menyajikan pertunjukkan musik, tarian, dan piano klasik setiap harinya. Kunjungi toko Hamzah Batik di Malioboro depan pasar Bringharjo, atau pesan melalui WhatsApp di 08112544239 atau 08112544245. Untuk bantuan atau saran selama berbelanja, hubungi Customer Service di WA 081128293456 atau melalui email cs@hamzahbatik.co.id.